Labels

Labels

Labels

14 Agustus 2009

Cerita Biasa


Kemarin saya terlibat percakapan singkat dengan kawan satu kosan. Kebetulan saat itu saya sedang membawa kardus yang akan digunakan untuk memasukkan barang-barang pindahan. Ketika pintu terbuka, saya temui dia sedang bersiap keluar kamar. Percakapan pun di mulai :

Dia : Eh, nia beli kardus. Berapa harga semua nya?

Saya : (Diam sejenak) Hm… Mending kalau mau beli kardus jangan sekarang, lagi mahal karena sedang MPF (Masa Perkenalan Fakultas. red) jadi harganya 1000/kardus.

Dia : Oooh…. Untung aku udah beli.

Saya : Iya... (dengan lembut dan tersenyum)

Dia : Waktu itu aku beli nya 500 lho.

Saya : Iya... (masih dengan nada yang lembut dan senyum)

Dia : Kan lumayan juga gopek mah...

Saya : Iya... (masih sabar nih)

Dia : Sabar amat sih kamu?

Saya : Habis mau komentar apa lagi? Toh, buat apa menyesali yang telah terjadi.

Sadar atau tidak, sebenarnya komen tersebut dapat menimbulkan banyak pikiran negatif, terutama bagi saya yang mendapat komentar. Dampak yang paling besar adalah ketika timbul rasanya penyesalan. Uupss... Sungguh, penyesalan adalah satu tindakan yang sangat saya hindari. Dari percakapan di atas, saya mencoba menganalisa apa yang telah terjadi... Ketika saya bermaksud baik, dengan memberitahukan pada kawan saya itu untuk tidak membeli kardus di saat seperti ini, dan justru mendapat tanggapan yang tidak mengenakkan, pasti ada rasa sesal yang sedikit terselip. Merontokan kebahagian yang sempat ada dan hampir saja terganti dengan penyesalan. Apalagi ketika dia merongrong saya dengan pernyataan berikutnya.

Di lain hari, pernah juga saya mendapati komentar serupa :
A : Hape ku hilang... (sambil menangis dan tersedu)

B : Wah, hilang di mana?

A : Tadi hilang di jalan. Copet.

B : Ooh...Untung bukan hape ku yang hilang.

A : (Diam)

Dalam kehidupan sehari-hari mungkin sering kita dapati hal seperti itu. Ketika kita mendapati hal yang tidak disukai, kemudian ada orang lain yang berkomentar ”Untung aku begini....” kemudian menimpali lagi ”Ga seperti kamu yang begitu....” Duh, sebenarnya bagi saya itu adalah komen yang sangat tidak penting. Sangat tidak membantu.

Ketika mendapat komen seperti ini, maka ada dua kemungkinan : 1) dia hanya bercanda, 2) dia tidak bisa memahami penderitaan orang lain. Tanda-tanda nya : untuk orang yang memang suka ucapkan itu biasanya dia akan tertawa setelah mengatakan nya, pun akan ada kalimat ”maaf, aku cuma becanda koq”. Namun, lain hal nya jika orang tersebut tidak memiliki kepekaan terhadap orang di sekitar nya (tipe 2), dia akan cenderung membalas komen kita dengan komen selanjutnya yang sebenarnya tidak penting hanya untuk menunjukan bahwa dia yang lebih unggul, lebih beruntung dan lebih yang lainnya.

Alangkah bijak nya jika kita mengetahui sesuatu, terutama jika itu terkait dengan orang lain, maka gunakan komentar yang baik pula. Bukan komentar yang menjatuhkan, bukan komentar yang seolah bagaikan nila merusak susu sebelanga atau bukan komentar yang menunjukan bahwa kita adalah orang yang lebih unggul. Kita tidak mengetahui, seberapa besar perjuangan yang kawan kita lakukan untuk bisa terus bertahan dalam kondisi seperti itu. Karena kita memang tidak ingin tahu. Kita terlalu mudah berkomentar, seringnya tanpa peduli dengan perasaan orang lain.

Seringkali kita menuntut orang lain untuk bersikap baik pada kita, namun seringkali pula kita tanpa sadar telah menyakiti hati orang lain. Sebelum meminta hak sebaiknya lakukan dulu kewajiban kita dengan mau sedikit saja menghargai perasaan orang lain. Ya Allah, jauhkanlah aku dari sifat seperti itu. Amin.

Untuk seorang kawan : Belajarlah untuk mau menghargai perasaan orang lain. Sedikit saja... ^^

3 komentar

chat_man 23 Agustus 2009 pukul 08.30

senyum merupakan tanggapan yang bagus :) ,,,

Achmad Puariesthaufani Nugroho 19 April 2010 pukul 13.54

wah,ka bagus

bisnis tiket pesawat 31 Maret 2011 pukul 10.43

bagus juga kok ceritannya..

Posting Komentar

Silahkan diisi bagi yang ingin berkomentar ^^)p